Sombong atau takabur (takabbur) adalah sifat hati yang terkeji
(madzmumi) dan merupakan satu daripada penyakit hati yang membawa akibat
kebinasaan diri. Pengertian tentang takabur dapat difahami dari maksud
beberapa hadist yang berikut :
Rasulullah bersabda, “Dianggap sebagai takabur itu ialah menolak apa
yang benar dan mengaggap hina kepada orang lain”. (HR. Muslim).
Bersabda Rasulullah saw kepada sahabatnya, Abu Dzar : “Takabur itu
meninggalkan kebenaran dan engkau mengambil selain kebenaran. Engkau
melihat orang lain dengan pandangan bahwa kehormatannya tidak sama
dengan kehormatanmu, darahnya tidak sama dengan darahmu”.
Rasulullah saw bertanya kepada sekumpulan Sahabat, “Tahukah kamu, orang
gila yang sebenar-benarnya?” Para Sahabat menjawab, “Tidak tahu, ya
Rasulullah”. Lalu Rasulullah menjelaskan, “Orang gila ialah orang yang
berjalan dengan takabur, memandang rendah kepada orang lain,
membusungkan dada, mengharapkan syurga sambil membuat maksiat dan
kejahatannya membuat orang tidak aman dan kebaikannya tidak pernah
diharapkan. Itulah orang gila yang sebenarnya”.
Berdasarkan kisah di dalam al-Qur’an, makhluk yang pertama yang diserang
dan menjadi mangsa penyakit takabur ialah Iblis (la’natullah). Walaupun
diperintah oleh Allah swt, Iblis enggan menghormati Adam a.s (manusia
dan nabi Allah yang pertama) karena dia menganggap dirinya lebih mulia
daripada Adam. Katanya, “Aku lebih baik daripadanya (Adam). Engkau
ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan daripada tanah” (QS
7:12). Iblis lalu dilaknat oleh Allah swt karena sifat takaburnya itu.
Sekurang-kurangnya dua akibat kecelakaan yang menimpa Iblis karena
ketakaburnya :
Pertama, ia dimasukkan ke dalam golongan kafir. Allah Taala berfirman :
Ia (Iblis) enggan dan menyombong diri (takabbur) dan ia termasuk golongan yang kafir (QS 2:34).
Kedua, ia dimasukkan ke dalam golongan orang yang terhina dan tidak layak tinggal di syurga. Allah berfirman :
Turunlah engkau dari syurga itu karena tidak patut (tidak layak)
bagimu menyombongkan diri di dalamnya, maka keluarlah. Sesungguhnya
engkau termasuk orang-orang yang hina. (QS 7:13).
Sifat takabur itu dapat dikenali dari tutur kata dan tingkah laku
bersumber dari lintasan hati yang mengandung rasa tinggi atau besar diri
di samping merendah-kan mertabat orang lain atau menolak kebenaran.
Mengikut Abu Yazid: “Seorang hamba itu selama masih mempunyai sangkaan,
bahwa antara makhluk ada orang yg lebih buruk atau lebih jahat amalannya
daripada dirinya sendiri, maka orang itu bersifat takabur”.
Lalu Abu Yazid ditanya, “Kapan seseorang itu dapat disebut sebagai bertawadhuk(rendah hati)?”
Abu Yazid menjawab, “Ketika ia tidak tahu bagaimana kedudukan serta keadaan dirinya sendiri”.
Lawan sifat takbur itu ialah tawadhuk (tawadhdhuk atau dhi’ah), yaitu
lintasan rasa rendah dan hina diri, termasuk pernyataan lewat perbuatan
dan lisan. Dengan menyuburkan sifat dan sikap merendah hati dan pasrah
kepada Allah, seseorang akan dapat mencegah penyakit takabur dan juga
ujub. Tawaduk itu adalah sifat hati yang terpuji (mahmudi). Sifat ini
membawa kemuliaan. Orang yang berkenaan akan mendapat kedudukan
(derajat) yang tinggi di sisi Allah.
Rasulullah saw bersabda, mafhumnya : Allah tidak akan memberi tambahan
kepada seorang hamba karena gemar memberi maaf kecuali kemulian, dan
tiada seorang pun yang merendahkan diri karena mengharapkan keridhaan
Allah kecuali Allah akan memberi tingkat yang tinggi kepadanya (HR.
Muslim).
Takabur dan tawaduk masing-masing ada kalanya bersifat umum dan ada
kalanya bersifat khusus. Orang yang merasakan tidak memadai dengan
kerendahan atau kesederhanaan hidupnya dikatakan terjatuh ke dalam
Takabur Umum. Sebaliknya, orang yang merasakan sudah berada dengan
keperluan hidup sekadar yang ada, walaupun yang rendah atau sederhana
mutunya, dia termasuk dalam tawaduk umum. Adapun Takabur Khusus bersifat
tertutup, tidak mau menerima, malah tidak bersedia untuk menerima
kebenaran dari orang lain.
Lawannya ialah Tawaduk Khusus yang bersifat terbuka, sentiasa melatih
diri untuk menerima kebenaran tanpa mengira ada orang yang membawa
kebenran itu hina atau mulia. Untuk mempertahankan tawaduk umum, kita
hendaklah sentiasa menginggati pengalaman pahit yang pernah menimpa diri
kita sejak mula dilahirkan dan senantiasa menginsafi diri kita sebagai
hamba Allah, sekurang-kurangnya sebagaimana yang dikatakan oleh ulama:
“Asal kamu dari setitik mani (nuthfah) yang anyir. Akhir kamu menjadi
bangkai (mayat) yang busuk. Dan, di antara keduanya, sepanjang hayat,
kamu menanggung kekotoran (najis) di dalam perut kamu”.
Untuk mempertahan tawaduk khusus pula kita hendaklah sentiasa mengingati
siksaan Allah Taala sebagai pembalasan, sekiranya kita menyeleweng
daripada kebenaran dan berpanjangan di dalam kebatilan. Berbeda dengan
sifat-sifat hati lain yang hanya mengotori amal ibadah dan memudaratkan
perkara “cabang” saja dalam agama, takabur memudaratkan perkara “pokok”,
mengotori agama dan akidah. Sekurang-kurangnya takabur mengakibatkan
empat mudharat :
1. terhalang dari mendapat kebenaran dan buta mata hati dalam makrifat
terhadap ayat-ayat yang mengandung pengertian tentang hukum dan hikmat
Allah. Allah Taala berfirman, mafhumnya:
Aku akan memalingkan mereka dari ayat-ayat-Ku orang yang menyombongkan
dirinya (takabur) di muka bumi tanpa alasan yang benar. (QS 7:146)
Demikianlah Allah menguncikan hati setiap orang yang takabur lagi sewenang-wenang. (QS 40:35)
2. dimurkai dan dibenci oleh Allah Taala, sebagaimana firman-Nya yang bermaksud :
Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang yang membesarkan dirinya (takbur). (QS 16:23)
Diriwayatkan : Nabi Musa a.s telah bertanya kepada Allah, “Hai, Tuhanku.
Siapakah di antara makhluk-Mu yang paling Engkau murkai?”. Allah Taala
berfirman, mafhumnya: Orang takbur hatinya, kasar lidahnya,
terkelip-kelip matanya, bakhil tangannya dan jahat perangainya”.
3. mendapat kehinaan dan siksaan di dunia sebelum di akhirat.
Bersyair Khatimul-Asham, “Jauhkan dirimu dari mati dalam tiga keadaan,
yaitu takabur, loba dan ujub. Sesungguhnya, orang yang takabur itu tidak
dikeluarkan oleh Allah Taala dari dunia sehingga dia diperlihatkan dulu
penghinaan ke atasnya kepada sekurang-kurangnya keluarganya sendiri.
Orang yang loba tidak dikeluarkan dari dunia melainkan setelah merasa
sangat memerlukan secuil roti dan seteguk air karena terlalu lapar dan
dahaga tetapi tak lalu ditelannya. Dan, orang yang ujub juga tidak
dikeluarkan dari dunia melainkan setelah diperlihatkan dirinya
bergelimang dengan air kencing dan tahinya sendiri”.
Gambaran penghinaan di akhirat pula terdapat dalam hadist dari Abu Hurairah r.a. Katanya, Rasulullah bersabda :
“Orang-orang yang sombong, keras kepala dan takabur, akan dikumpulkan
pada hari kiamat seperti kumpulan semut, dipijak-pijak oleh manusia
karena hinanya mereka di sisi Allah Ta’ala”.
4. disiksa di akhirat dan dimasukkan ke dalam neraka, sebagaimana firman
Allah Taala (tersebut dalam Hadis Qudsi), mafhumnya: Kebesaran itu
selindang-Ku dan ‘adzmat (keagungan) itu kainku. Sesiapa merebut salah
satu daripada yang dua itu, Aku masukkan dia ke neraka Jahannam.
Rasulullah bersabda : “Tiada akan masuk syurga orang yang ada di dalam
hatinya seberat biji sawi daripada sifat takabur” (HR. Muslim).
Mengikut hadist yang lain, Rasulullah bersabda : “Wahai Abu Dzar,
barangsiapa mati dalam keadaan hatinya ada sebesar debu sahaja dari
sifat takabur, dia tidak akan tercium bau syurga kecuali bila bertaubat
sebelum maut menjemputnya”.
Biasanya faktor yang menimbulkan rasa takbur di hati seseorang itu ialah
sesuatu kelebihan atau keistimewaan yang dimilikinya. Banyak faktornya.
diantaranya sebagaimana yang dilantunkan oleh Imam al-Ghazali, yaitu :
Ilmu, ibadah / amal, keturunan, kejelitaan atau ketampanan rupa paras,
kekayaan harta benda, kekuasaan / kekuatan dan banyak pengikut / kaum
keluarga.
Demikianlah, memang sudah jelas sekali, sebagaimana yang telah berlaku.
Iblis menjadi takabur karena faktor keturunannya (asal kejadiannya),
Fir’aun karena kekuasaannya dan Qarun karena hartanya. Jadi, sesiapa
yang memiliki kelebihan atau keistimewaan dalam hal-hal yang tersebut,
hendaklah berhati-hati agar tidak terhanyut di lautan ghaflah atau
menjadi lupa daratan sehingga hatinya dihinggapi penyakit takabur.
Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar