Segala  puji hanya bagi Allah, shalawat serta salam kita sampaikan kepada  Rasulullah, keluarganya dan para sahabatnya. Berikut ini adalah uraian  yang terkandung padanya beberapa keutamaan dan manfaat ibadah haji. Aku  katakan :   
Ibadah  haji merupakan sebuah ibadah dari berbagai macam ibadah yang Allah  wajibkan. Allah jadikan ibadah ini sebagai salah satu dari lima pondasi  (rukun) yang dengannya akan tegak agama Islam ini, dan ibadah haji ini  juga merupakan sebuah ibadah yang dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu  ‘alaihi wasallam dalam sabdanya sebagaimana dalam hadits yang shahih:
 بني الإسلام على خمس: شهادة أن لا إله إلاَّ الله وأن محمداً رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة وصوم رمضان وحج بيت الله الحرام
“Islam  dibangun di atas lima (rukun): (1) Persaksian bahwasanya tidak ada yang  berhak diibadahi dengan benar kecuali hanya Allah dan persaksian  bahwasanya Muhammad adalah Rasulullah, (2) Mendirikan shalat, (3)  Menunaikan zakat, (4) Berpuasa pada bulan Ramadhan, dan (5) Menunaikan  ibadah haji ke Baitullah Al-Haram.”
Sesungguhnya  Rasulullah telah menunaikan ibadah haji bersama para shahabatnya pada  tahun ke-10 Hijriyah. Dalam momen tersebut, beliau menjelaskan kepada  umatnya tentang tata cara pelaksanaan ibadah ini, dan sekaligus beliau  juga memberikan dorongan kepada umatnya untuk memperhatikan setiap yang  diucapkan dan diamalkan oleh beliau dalam pelaksanaan ibadah tersebut.  Beliau bersabda :
 خذوا عني مناسككم فلعلي لا ألقاكم بعد عامي هذا
“Ambillah  oleh kalian dariku (meniru tata cara manasik yang telah aku ajarkan)  dalam menunaikan manasik kalian, karena barangkali aku tidak bisa lagi  bertemu dengan kalian setelah tahun ini.”
Oleh sebab itulah, haji beliau tersebut disebut dengan haji wada’ (haji perpisahan).
Nabi  shallallahu ‘alaihi wasallam juga memberikan semangat kepada umatnya  untuk melaksanakan ibadah haji, menjelaskan tentang keutamaannya, serta  menerangkan tentang janji Allah berupa pahala yang melimpah bagi siapa  saja yang menunaikan ibadah haji dengan sebaik-baiknya. Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
 من حج ولم يرفث ولم يفسق رجع كيوم ولدته أمه
“Barangsiapa  yang melaksanakan ibadah haji, kemudian dia tidak mengucapkan kata-kata  yang keji atau kotor serta tidak berbuat kefasikan, maka dia akan  kembali bersih (dari dosa-dosa) seperti hari ketika dia dilahirkan oleh  ibunya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
العمرة إلى العمرة كفارة لما بينهما والحج المبرور ليس له جزاء إلاَّ الجنة
“Dari  umrah yang satu ke umrah berikutnya adalah sebagai penghapus dosa-dosa  di antara keduanya. Dan haji yang mabrur, tidaklah ada balasan baginya  kecuali Al-Jannah.” [Muttafaqun ‘Alaihi, dari shahabat Abu Hurairah  radhiyallahu ‘anhu]
Dsebutkan  pula di dalam Ash-Shahihain (Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim) juga  dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan:
 سئل  رسول الله صلى الله عليه وسلم أي العمل أفضل؟ قال: إيمان بالله ورسوله،  قيل : ثم ماذا؟ قال: الجهاد في سبيل الله، قيل: ثم ماذا؟ قال: حج مبرور
“Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya: ‘Amalan apakah yang paling  utama?’ Maka beliau menjawab: ‘Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.’  Ditanyakan kembali kepada beliau: ‘Kemudian apa lagi?’ Beliau menjawab:  ‘Berjihad di jalan Allah.’ Dan ditanyakan kembali kepada beliau:  ‘Kemudian apa lagi?’ Beliau menjawab: ‘Haji yang mabrur’.”
Dan  di dalam Shahih Muslim disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi  wasallam berkata kepada ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu ketika dia  masuk Islam:
أما علمت أن الإسلام يهدم ما كان قبله وأن الهجرة تهدم ما كان قبلها وأن الحج يهدم ما كان قبله
“Tidakkah  engkau tahu bahwasanya Islam menghapus dosa-dosa (kejelekan) yang telah  lalu, dan bahwasanya hijrah menghapus dosa-dosa (kejelekan) yang telah  lalu, dan juga bahwasanya haji menghapus dosa-dosa (kejelekan) yang  telah lalu.”
Al-Bukhari  meriwayatkan dalam Shahihnya dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya  dia berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
يا رسول الله نرى الجهاد أفضل العمل أفلا نجاهد؟ قال: لا، ولكن أفضل الجهاد حج مبرور
“Wahai  Rasulullah, kami mengetahui bahwa jihad adalah amalan yang paling  utama, tidakkah kami juga ikut berjihad?” Beliau menjawab: “Bukan  seperti itu, akan tetapi jihad yang paling utama (bagi wanita) adalah  haji yang mabrur.”
Dari  hadits-hadits yang telah disebutkan di atas dan juga (dalil-dalil) yang  lainnya, menjadi jelaslah bagi kita tentang keutamaan ibadah haji dan  betapa besarnya pahala yang telah Allah persiapkan bagi orang-orang yang  melaksanakan ibadah tersebut. Dan menjadi jelas pulalah bahwa besarnya  pahala yang akan diraih itu adalah hanya bagi barangsiapa yang ibadah  hajinya tergolong haji yang mabrur.
Maka apakah yang dimaksud dengan kemabruran ibadah haji yang dijanjikan oleh Allah pahala yang cukup besar itu?
Sesungguhnya  kemabruran ibadah haji itu akan diraih dengan beberapa hal, yaitu  hendaknya seorang muslim menunaikan ibadah hajinya dengan sempurna,  mengikhlaskan amalannya tersebut semata-mata untuk mengharap wajah Allah  ta’ala dan ketika menunaikan (manasik)nya sesuai dengan sunnah (dan  tata cara yang pernah diajarkan oleh) Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi  wasallam.
Dan  hendaklah dia menjaga pelaksanaan ibadah tersebut dengan mengamalkan  segala yang diperintahkan oleh Allah dan menjauhi segala yang dilarang  oleh-Nya.
Melaksanakan  segala yang diperintahkan (oleh Allah) dan meninggalkan segala yang  dilarang (oleh Allah) sebenarnya merupakan kewajiban seorang muslim  sepanjang hidupnya. Akan tetapi kewajiban ini lebih ditekankan lagi pada  waktu-waktu dan tempat-tempat tertentu yang memiliki keutamaan. Karena  Allah menciptakan makhluk-Nya adalah agar mereka beribadah kepada-Nya,  yaitu taat kepada-Nya dengan melaksanakan segala yang diperintahkan oleh  Allah dan meninggalkan segala yang dilarang oleh-Nya. Allah ta’ala  berfirman:
 الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً
“(Allah) yang menciptakan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalannya.” [Al-Mulk: 2]
 Allah ta’ala juga berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku menciptakan Jin dan Manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” [Adz-Dzariyat: 56]
Sehingga  seorang muslim itu harus senantiasa berada di atas ketaatan kepada  Allah dan menjauhkan diri dari kemaksiatan kepada-Nya, baik di  tengah-tengah pelaksanaan ibadah haji, dan juga sebelum pelaksanaan  ibadah haji ataupun setelahnya. Yang demikian ini adalah agar akhir  kehidupannya ditutup dengan kesempurnaan yaitu dalam keadaan berada di  atas kebaikan. Sehingga akhir hidupnya itu ditutup dalam keadaan baik  dan terpuji, sebagaimana firman Allah ta’ala:
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
“Wahai  orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar  takwa, dan janganlah kalian sekali-kali mati melainkan dalam keadaan  Islam.” [Ali ‘Imran: 102]
Dan juga firman Allah ta’ala:
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Dan beribadahlah kepada Rabbmu sampai datang kepadamu ‘al-yakin’ (kematian).” [Al Hijr: 99]
 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
 وإنما الأعمال بالخواتيم
“Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung pada akhir kehidupannya.”
Dan  di antara bentuk kebaikan yang dengannya akan diraih kemabruran ibadah  haji adalah hendaknya bersemangat di tengah-tengah pelaksanaan ibadah  hajinya untuk merenungi rahasia-rahasia dan pelajaran-pelajaran yang  terkandung dalam ibadah haji tersebut dan juga memperhatikan beberapa  manfaat (haji) yang sangat banyak, baik manfaat tersebut adalah manfaat  yang bisa segera dirasakan, maupun manfaat yang baru bisa dirasakan  setelah beberapa waktu kemudian. Secara umum manfaat-manfaat tersebut  telah Allah ta’ala sebutkan dalam firman-Nya :
 لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka.” [Al-Hajj: 28]
Berikut ini adalah uraian beberapa manfaat dan rahasia (haji) sebagaimana yang telah isyaratkan dalam ayat di atas:
Sesungguhnya  ikatan yang terjadi antara seorang muslim dengan Baitullah Al-Haram  merupakan ikatan yang sangat kokoh. Di mana ikatan tersebut mulai tumbuh  sejak ia menyatakan diri sebagai seorang muslim, dan ikatan ini akan  terus menerus bersamanya selama ruh masih berada di kandung badan.
Maka  seorang bayi yang dilahirkan dalam keadaan Islam, pertama kali yang  menyentuh pendengarannya dari hal-hal yang Allah wajibkan adalah rukun  Islam yang lima, yang salah satunya adalah malaksanakan ibadah haji ke  Baitullah Al-Haram.
Dan  seorang kafir, apabila dia (masuk Islam dan) bersaksi dengan persaksian  yang benar kepada Allah tentang keesaan-Nya dan juga bersaksi bahwa  Nabi Muhammad adalah Rasulullah sebagaimana persaksian yang dilakukan  oleh kaum muslimin, maka yang pertama kali diwajibkan kepadanya dari  kewajiban-kewajiban dalam Islam setelah dua kalimat syahadat adalah  menegakkan shalat lima waktu, menunaikan zakat, berpuasa di bulan  Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji ke Baitullah Al-Haram.
Rukun  Islam setelah dua kalimat syahadat adalah menegakkan shalat lima waktu  yang Allah wajibkan kepada kaum muslimin dalam setiap harinya, dan Allah  jadikan ‘menghadap ke arah Baitullah Al-Haram’ sebagai salah satu  syarat dari syarat-syarat shalat. Sehingga ikatan antara seorang muslim  dengan Baitullah Al-Haram adalah terus-menerus dalam setiap hari, dia  menghadap ke arahnya sesuai dengan kemampuan dirinya dalam setiap shalat  yang dia laksanakan, baik shalat wajib maupun shalat nafilah (sunnah),  sebagaimana dia juga menghadap ke arah Baitullah ketika berdoa.
Hubungan  erat yang membuahkan keterikatan antara hati seorang muslim dengan  rumah Rabbnya (Baitullah) yang bersifat terus menerus ini mau tidak mau  akan mendorong seorang muslim untuk selalu ingin menghadapkan diri  kepada Al-Baitul ‘Atiq (Baitullah), agar dengannya ia merasakan  kenikmatan melihat rumah Allah dengan pandangan matanya dan agar  tergerak hatinya untuk menunaikan ibadah haji yang telah Allah wajibkan  bagi siapa saja yang memiliki kemampuan untuk menunaikannya.
Maka  bagi seorang muslim, kapan saja dia telah memiliki kemampuan untuk  menunaikan ibadah haji, hendaklah ia bersegera untuk menunaikannya,  sebagai kewajiban yang harus dilaksanakannya, dan dalam rangka berharap  untuk dapat melihat rumah Allah yang ia menghadapkan wajah ke arahnya di  setiap shalat, dan juga dalam rangka berharap agar dapat menyaksikan  berbagai manfaat yang telah Allah diisyaratkan dalam firman-Nya:
 لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka.” [Al-Hajj: 28]
Apabila  seorang muslim telah sampai di Baitullah, dia menyaksikan dengan mata  kepala sendiri rumah yang paling mulia dan tempat yang paling suci di  muka bumi, yaitu Ka’bah Al-Musyarrafah (yang dimuliakan), sebagai tempat  pertemuan bagi seluruh kaum muslimin di dalam shalat-shalat mereka,  baik kaum muslimin dari belahan bumi timur maupun barat. Dia pun juga  menyaksikan kaum muslimin berdiri mengitari Ka’bah membentuk formasi  lingkaran tatkala melaksanakan shalat, lingkaran paling kecil adalah  yang ada di sekitar (paling dekat) Ka’bah, kemudian lingkaran yang  berikutnya dan seterusnya sampai lingkaran yang terbesar di ujung dunia.
Di  dalam shalat-shalatnya, kaum muslimin senantiasa dalam keadaan  menghadap ke arah rumah Allah, mereka seperti titik-titik yang membentuk  lingkaran, baik yang kecil maupun yang besar, dengan rumah Allah  (Ka’bah Al-Musyarrafah) sebagai pusatnya.
Ketika  Allah telah memudahkan bagi seorang muslim untuk berangkat menunaikan  ibadah haji ke Baitullah, dan kemudian ketika ia sampai ke miqat  sebagaimana yang telah ditentukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi  wasallam untuk memulai ihram, maka dia pun melepas semua pakaiannya  kemudian menggantinya dengan pakaian ihram yaitu  mengenakan  sarung pada bagian bawah tubuhnya dan memakai selempang pada bagian  atasnya kecuali kepala (dalam keadaan kepalanya terbuka).
Maka  dalam keadaan pakaian yang demikian, semua jama’ah haji berada dalam  keadaan yang sama. Tidak ada bedanya antara yang kaya dengan yang  miskin, dan juga antara pemimpin dengan rakyat. Kesamaan mereka dalam  keadaan seperti ini mengingatkan kepada kesamaan dalam memakai kain  kafan ketika meninggal dunia. Karena ketika seorang muslim meninggal  dunia, maka semua pakaiannya dilepas kemudian dibungkus dengan beberapa  kain (kafan). Sehingga dalam hal ini tidak ada bedanya antara seorang  yang kaya dengan yang miskin.
Apabila  seorang jama’ah haji melepas pakaiannya kemudian menggantinya dengan  pakaian ihram, maka hal ini mengingatkannya kepada sebuah kematian yang  merupakan akhir dari kehidupannya di dunia ini untuk kemudian memulai  kehidupan di akhirat. Sehingga dengan hal ini, dia akan mempersiapkan  dirinya dalam menghadapi kematian yang akan menjemputnya dengan berbagai  amalan yang shalih dan menjauhkan diri dari perbuatan maksiat.  Persiapan tersebut adalah sebagai bekal bagi dirinya menuju akhirat,  sebagaimana yang Allah ta’ala sebutkan dalam firman-Nya:
 وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى
“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” [Al-Baqarah: 197]
Oleh  sebab itulah, ketika ada seseorang yang bertanya kepada Nabi: “Kapankah  datangnya hari kiamat?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda: “Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?”
Sebuah  peringatan dari Nabi shalawatullahi wasalamuhu ‘alaihi bahwa sesuatu  yang paling penting bagi diri seorang muslim adalah agar seharusnya dia  senantiasa memperhatikan beberapa hal yang akan dihadapinya setelah  kematian. Kemudian dia bersiap-siap menghadapinya pada setiap keadaannya  dengan melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya.
Kemudian  apabila seorang muslim telah masuk pada pelaksanaan ibadah haji, dia  akan bertalbiyah dengan mengucapkan kalimat-kalimat tauhid sebagaimana  yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
 لبيك اللهم لبيك، لبيك لا شريك لك لبيك، إن الحمد والنعمة لك والملك لا شريك لك
“Aku  sambut panggilan-Mu ya Allah, aku sambut panggilan-Mu. Aku sambut  panggilan-Mu yang tidak ada sekutu bagi-Mu, aku sambut panggilan-Mu.  Sesungguhnya segala puji dan nikmat dan kekuasaan hanyalah milik-Mu,  yang tidak ada sekutu bagi-Mu.”
Dia  mengucapkan talbiyah ini dalam keadaan dirinya merasakan kandungan  kalimat tersebut, berupa tauhid (mengesakan) Allah dalam ibadah,  bahwasanya Allah adalah satu-satu Dzat yang dikhususkan pada-Nya semua  bentuk peribadatan tanpa selain-Nya. Sebagaimana Dia subhanahu wata’ala  sebagai satu-satunya Dzat yang menciptakan dan mewujudkan makhluk, maka  wajib untuk menjadikan Dia sebagai satu-satunya Dzat yang diibadahi  tanpa selain-Nya, siapapun dia. Dan memalingkan (mempersembahkan) salah  satu bentuk ibadah kepada selain Allah merupakan bentuk kezhaliman yang  paling zhalim dan kebatilan yang paling batil.
Kalimat  yang diucapkan oleh seorang muslim tersebut adalah sebagai sambutan  terhadap panggilan Allah kepada para hamba-Nya dalam pelaksanaan ibadah  haji ke Baitullah Al-Haram. Dengannya seorang muslim akan merasakan  betapa agungnya kedudukan Sang Penyeru, yaitu Allah dan betapa  pentingnya sesuatu yang diserukan itu. Sehingga dia berusaha untuk  memenuhi panggilan tersebut sesuai dengan tata cara yang diridhai oleh  Allah ta’ala, dan dia pun mengetahui bahwa inti dari ibadah haji dan  juga ibadah-ibadah yang lainnya adalah
Ikhlas kepada Allah, sebagaimana yang telah ditunjukkan dalam kalimat tauhid yang terkandung dalam talbiyah di atas.
Mutaba’ah  (mencontoh/mengikuti) petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  dalam pelaksanaan manasik haji, beliau bersabda:
 خذوا عني مناسككم
“Ambillah oleh kalian dariku (meniru tata cara manasik yang telah aku ajarkan) dalam menunaikan manasik kalian.”
Ketika  seorang muslim telah sampai di Ka’bah yang mulia, dia akan menyaksikan  pelaksanaan ibadah thawaf yang ada di sekitar Ka’bah, yang mana thawaf  ini tidak boleh dilaksanakan dalam syarilat Islam kecuali dikhususkan  pada tempat ini saja. Semua bentuk pelaksanaan thawaf yang dilakukan  pada selain tempat ini, maka itu merupakan syari’at dari setan, serta  pelakunya diancam dengan firman Allah ta’ala:
 أَمْ لَهُمْ شُرَكَاء شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن بِهِ اللَّهُ
“Apakah  mereka mempunyai tandingan-tandingan selain Allah yang mensyari’atkan  untuk mereka agama yang tidak diizinkan oleh Allah?” [Asy-Syuura: 21]
Dia  juga akan menyaksikan dicium dan diusapnya Hajar Aswad dan diusapnya  Rukun Yamani. Tidaklah datang dari syari’at Islam yang menganjurkan  untuk mencium atau mengusap batu-batuan atau bangunan kecuali pada dua  tempat (Hajar Aswad dan Rukun Yamani) ini saja.
Ketika  Umar bin Al-Khaththab mencium Hajar Aswad, beliau menerangkan bahwa  perbuatan yang beliau lakukan tersebut adalah semata-mata mengikuti  contoh Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam tatkala mencium Hajar  Aswad. Kemudian beliau mengatakan kepada Hajar Aswad:
ولولا أني رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يقبلك ما قبلتك
“Kalaulah seandainya aku tidak melihat Nabi menciummu, niscaya aku tidak akan melakukannya.”
Seorang  jama’ah haji akan menyaksikan dalam pelaksanaan ibadah hajinya tersebut  pertemuan akbar kaum muslimin, yaitu pada hari Arafah di padang Arafah,  saat para jama’ah haji berwukuf secara bersama-sama di tempat itu dalam  keadaan bertalbiyah dan bertahlil kepada Allah, memohon kebaikan dunia  dan akhirat.
Pertemuan  akbar kaum muslimin ini akan mengingatkan mereka kepada padang mahsyar  di hari kiamat yang semua umat manusia dari awal (zaman) sampai akhir  (zaman) bertemu dan berkumpul di tempat tersebut, menunggu keputusan  Allah untuk kemudian mereka menuju tempat tujuan yang terakhir sesuai  dengan amalan-amalan yang mereka kerjakan. Apabila mereka mengamalkan  amalan-amalan yang baik maka akan mendapatkan balasan kebaikan, dan jika  mereka mengamalkan amalan-amalan yang jelek maka akan mendapatkan  balasan kejelekan.
 Kemudian  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selaku hamba dan utusan Allah,  memintakan syafaat kepada Allah untuk mereka, agar Allah segera memberi  keputusan-Nya. Maka Allah pun memberikan syafaat-Nya (kepada Nabi  shallallahu ‘alaihi wasallam). Itulah Al-Maqamul Mahmud (kedudukan yang  terpuji), yang semua umat manusia mulai dari awal (zaman) sampai akhir  (zaman) memberikan pujian atas beliau. Dan Inilah yang disebut dengan  Asy-Syafa’atul ‘Uzhma, yang dikhususkan hanya untuk Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak ada seorang pun yang memilikinya  baik dari kalangan malaikat yang didekatkan maupun para nabi yang  diutus.
Dan dalam pertemuan akbar umat Islam tersebut, baik di padang Arafah maupun di tempat-tempat  pelaksanaan  ibadah haji yang lainnya, kaum muslimin dari penjuru timur dan barat  saling bertemu, mereka saling berkenalan dan memberikan nasehat, serta  sebagian mereka mengetahui keadaan sebagian yang lainnya. Mereka  bersama-sama dalam suasana kegembiraan dan rasa senang, sebagaimana  sebagian mereka bersama-sama dengan sebagian yang lain ketika mengalami  sakit, sehingga mereka menunjukkan apa yang sudah semestinya mereka  lakukan kepada orang lain. Dan mereka juga saling menolong di atas  kebaikan dan ketakwaan sebagaimana yang telah Allah ta’ala perintahkan.
Inilah  beberapa (sebagian) manfaat yang aku sebutkan dari keseluruhan manfaat  yang banyak sekali, yang secara umum telah Allah ta’ala sebutkan dalam  firman-Nya:
 لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka.” [Al-Hajj: 28]
Manfaat  terbesar bagi seorang muslim setelah dia selesai dari pelaksanaan  ibadah haji adalah hendaknya ia berusaha agar ibadah hajinya tersebut  diterima, dan hendaknya keadaan dirinya setelah menunaikan ibadah haji  adalah lebih baik daripada sebelumnya. Sehingga dia berusaha untuk  menjadikan ibadah hajinya sebagai langkah awal di dalam melakukan  berbagai perubahan dirinya, baik dalam hal perilaku hidup maupun  amalan-amalan kesehariannya, dia mengubah kejelekan dirinya dengan  kebaikan dan mengubah dirinya dari kebaikan kepada keadaan yang lebih  baik lagi.
Dan  hanya kepada Allah tempat memohon semoga Dia memberikan taufiq-Nya  kepada kaum muslimin agar mereka diberi kefahaman dalam urusan agama  mereka dan kekokohan di atasnya, dan agar Allah mengokohkan kedudukan  kaum muslimin di muka bumi, serta menolong mereka atas musuh-musuh Allah  dan musuh-musuh mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penolong dan Maha Mampu  atas itu semua.
 وصلى الله وسلم وبارك على عبده ورسوله نبينا محمد وعلى آله وص