Shalat Idul Adha dilaksanakan pada 10 Dzulhijjah. Secara  prinsip, tata  cara pelaksanaannya sama seperti pelaksanaan shalat Idul  Fitri. Walaupun  ada sedikit perbedaan, yaitu:
1. Tidak sarapan sebelum berangkat
Jika sebelum berangkat shalat Idul Fitri Rasulullah SAW sarapan dahulu maka sebelum shalat Idul Adha, Rasul tidak sarapan dan beliau baru makan sepulang melaksanakan shalat (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad).
Jika sebelum berangkat shalat Idul Fitri Rasulullah SAW sarapan dahulu maka sebelum shalat Idul Adha, Rasul tidak sarapan dan beliau baru makan sepulang melaksanakan shalat (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad).
2. Waktu bertakbir
Waktu takbir pada Idul Adha dari subuh hari Arafah sampai petang hari tasyrik, yakni tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah.
Berkata Hafizh dalam al-Fath, “mengenai hal ini tidak ada keterangan berupa hadis dari Nabi SAW. Riwayat yang paling sah adalah yang diterima dari para sahabat Nabi SAW, yaitu keterangan dari Ali bin Abi Thalib r.a. dan Ibnu Mas’ud r.a. bahwa permulaannya adalah semenjak subuh hari Arafah sampai Ashar hari terakhir di Mina (riwayat Ibnu Mundzir, dll). Pendapat ini diyakini kebenarannya oleh Imam Syafi’I, Ahmad, Abu Yusuf, dan Muhammad. Demikian pula oleh Mazhab Umar dan Ibnu Abbas.
Waktu takbir pada Idul Adha dari subuh hari Arafah sampai petang hari tasyrik, yakni tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah.
Berkata Hafizh dalam al-Fath, “mengenai hal ini tidak ada keterangan berupa hadis dari Nabi SAW. Riwayat yang paling sah adalah yang diterima dari para sahabat Nabi SAW, yaitu keterangan dari Ali bin Abi Thalib r.a. dan Ibnu Mas’ud r.a. bahwa permulaannya adalah semenjak subuh hari Arafah sampai Ashar hari terakhir di Mina (riwayat Ibnu Mundzir, dll). Pendapat ini diyakini kebenarannya oleh Imam Syafi’I, Ahmad, Abu Yusuf, dan Muhammad. Demikian pula oleh Mazhab Umar dan Ibnu Abbas.
Kesimpulannya,  takbir hari raya Idul Fitri dimulai ba’da subuh  (waktu pergi shalat  ied) hingga imam khutbah. SEdangkan takbir Idul  Adha dimulai dari subuh  hari Arafah sampai terakhir di Mina (9, 10, 11,  12, & 13)  Dzulhijjah.
3. Menyembelih Kurban
Selesai melakukan shalat Idul Adha, Rasulullah SAW menyembelih kurban. Penyembelihan ini harus dilaksanakan setelah shalat Idul Adha pada tanggal sepuluh Dzulhijjah sampai tiga hari berikutnya, yaitu pada 11, 12, dan 13 Dzulhijjah.
Selesai melakukan shalat Idul Adha, Rasulullah SAW menyembelih kurban. Penyembelihan ini harus dilaksanakan setelah shalat Idul Adha pada tanggal sepuluh Dzulhijjah sampai tiga hari berikutnya, yaitu pada 11, 12, dan 13 Dzulhijjah.
Menyembelih  kurban bagi  orang-orang yang mampu hukumnya Sunnah  Muakkadah (sunah  yang harus diprioritaskan untuk dikerjakan) (HR. Ahmad  dan Ibnu Majah).  Pilihlah binatang kurban yang sehat dan gemuk, jangan  yang sakit, cacat  (buta, pincang, dll.), atau yang sangat kurus (HR.  Tirmidzi, ia  mengatakan hadis ini sahih hasan).
Satu binatang kurban sudah  dianggap mencukupi satu rumah tangga.  Artinya, kalau kepala keluarga  sudah berkurban, itu dianggap sudah  memadai untuk seisi rumah. Namun  kalau dalam satu keluarga ada beberapa  yang ingin berkurban, tentu ini  lebih utama, misalnya yang kurban  bukan hanya suami, tetapi juga istri  dan anak-anaknya (HR. Ibnu Majah  dan Tirmidzi).
Orang yang berkurban boleh mencicipi daging kurbannya, walaupun yang paling utama seluruhnya diberikan kepada yang berhak menerimanya.
Orang yang berkurban boleh mencicipi daging kurbannya, walaupun yang paling utama seluruhnya diberikan kepada yang berhak menerimanya.
Kurban boleh didasarkan secara berserikat, apabila jenis binatangnya  besar Seperti sapi, unta atau kerbau (HR. Muslim, Abu Daud, dan  Tirmidzi).  Maksudnya, satu unta atau satu sapi biayanya boleh dipikul  oleh tujuh  orang. Keterangan ini menunjukkan batas maksimal, artinya  boleh juga  dipikul kurang dari tujuh orang, bahkan hal itu akan lebih  baik karena  saham ibadah masing-masing menjadi lebih besar.
Apabila kita  berniat berkurban, disunahkan tidak memotong kuku dan  rambut sejak  tanggal 1 Dzulhijjah hingga binatang kurban itu disembelih  (HR. Muslim).  Hal ini bukakn menunjukkan syarat sahnya kurban, tetapi  sifatnya hanya  anjuran (sunah), artinya kalaupun kita memotong rambut  atau kuku  (padahal sudah berniat berkurban), kurbannya tetap sah.
4. Berpuasa di Bulan Dzulhijjah
Soal: Apa hukum berpuasa pada sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah?
Jawab: Puasa pada hari-hari tersebut adalah sunnah (mustahab), karena Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menganjurkan dan mendorong umatnya untuk melakukan amalan-amalan sholih   pada hari-hari tersebut, dan puasa termasuk bagian dari amalan-amalan   sholih. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam:
مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ الْعَشْرِ . فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-: « وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ ». 
“Tidak ada hari-hari dimana amalan sholih didalamnya lebih Allah cintai daripada sepuluh hari (pertama) bulan Dzulhijjah.” Para shahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, bukan pula jihad di jalan Allah? Beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Bukan   pula jihad di jalan Allah, kecuali seseorang yang keluar (untuk   berjihad di jalan Allah-red) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak   kembali darinya (jiwa dan hartanya) sedikitpun.” 
(HR. Al-Bukhari no. 969, dan At-Tirmidzi no. 757)
Walaupun dahulu Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam tidak sering berpuasa pada hari-hari tersebut. Telah diriwayatkan bahwa beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam berpuasa pada hari-hari tersebut karena kekhawatiran beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam akan dianggap wajib oleh umatnya. Diriwayatkan pula bahwa beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam tidak berpuasa pada hari-hari tersebut. Akan tetapi, yang lebih utama menjadi patokan adalah sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam,   karena sabda beliau lebih didahulukan daripada perbuatan. Jika   terkumpul antara perkataan dan perbuatan, maka keduanya saling   menguatkan. Oleh karena itu, perkataan terhitung sebagai dalil   tersendiri, perbuatan sebagai dalil tersendiri, dan taqrir (persetujuan) pun sebagai dalil tersendiri. Yang paling utama dan paling kuat sebagai hujjah (dalil) adalah perkataan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, kemudian perbuatan beliau, dan setelahnya persetujuan beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam.
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ، يَعْنِي الْعَشْرَ
“Tidak ada hari-hari yang amalan sholih didalamnya lebih Allah cintai daripada hari-hari ini, yakni sepuluh hari (pertama bulan Dzulhijjah).” (HR. Al-Bukhari no. 926, At-Tirmidzi no.757, Abu Dawud no. 2438, Ibnu Majah no. 1727, Ahmad 1/224, dan Ad-Darimi no. 1773)
Apabila seseorang berpuasa atau bershadaqah pada hari-hari tersebut,   ia berada dalam kebaikan yang sangat besar. Disyari’atkan pula pada   hari-hari tersebut untuk memperbanyak takbir (Allahu Akbar), tahmid (Alhamdulillah), dan tahlil (Laa ilaha illallah), dengan dalil sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam:
مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمَ عِنْدَ اللَّهِ وَلاَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنَ الْعَمَلِ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ الْعَشْرِ فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنَ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ.
“Tidak ada hari-hari yang lebih besar di sisi Allah, dan lebih   dicintai-Nya dengan melakukan amalan-amalan sholih didalamnya daripada   sepuluh hari (awal bulan Dzulhijjah) ini. Oleh karenanya, perbanyaklah   untuk bertahlil, bertakbir, dan bertahmid.” (HR. Ahmad 2/75)
Semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua. (Lihat Majmu’ Fatawa Ibn Baz 14/419)
Soal: Apakah kita boleh berpuasa dua hari dalam   rangka puasa hari Arafah, karena kami mendengar di radio bahwasanya hari   Arafah jatuh besok bertepatan dengan tanggal 8 Dzulhijjah di tempat   kami?
Jawab: Hari Arafah adalah hari dimana para jama’ah   haji melakukan wukuf di padang Arafah. Disyariatkan untuk berpuasa pada   waktu itu bagi seorang muslim yang tidak sedang melaksanakan ibadah   haji. Oleh karena itu, apabila anda ingin berpuasa, maka hendaklah anda   berpuasa pada hari tersebut. Dan bila anda telah berpuasa sehari  sebelum  hari tersebut, maka tidak mengapa. Dan jika anda telah berpuasa   sembilan hari mulai dari awal bulan Dzulhijjah, maka hal itu adalah   baik. Hal ini dikarenakan hari-hari tersebut adalah hari-hari yang mulia   yang berpuasa pada hari-hari tersebut disunnahkan. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
مَا مِنْ أيَّامٍ ، العَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا خَيرٌ وَ أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ هذِهِ الأَيَّام العشر . قِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ ، وَلا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ؟ قَالَ :  وَلاَ الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ ، إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ ، فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيءٍ.  رواه البخاري .
“Tidaklah ada hari-hari yang amalan sholih didalamnya lebih baik   dan lebih dicintai oleh Allah Subhanallahu wa Ta’ala daripada sepuluh   hari (di awal bulan Dzulhijjah) ini.” Dikatakan: “Wahai Rasulullah, bukan jihad di jalan Allah (yang lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah Subhanallahu wa Ta’ala)? Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab:
“Bukan jihad di jalan Allah. Melainkan (bila ada) seseorang yang   keluar (untuk berjihad di jalan Allah) dengan jiwa dan hartanya,   kemudian tidak kembali dari itu semua sedikitpun.” (HR. Ahmad 1/224 no.338, Al-Bukhari no. 969, Abu Dawud no. 2438, At-Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan yang selainnya)
Wa billahit taufiq wa shollallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa aalihi wa shohbihi wa sallam. (Lihat Soal Pertama dari Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah no. 4052)



 


0 komentar:
Posting Komentar