CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Minggu, 25 Agustus 2013

Sastra Melayu Palembang Zaman Keislaman

Masa abad 13-14, di negara-negara Sumatra, sendi-sendi budaya corak Hindu melemah, sementara itu budaya publik kalangan menengah sudah memerlukan wadah bagi ideologinya yang makin berubah, dan inilah yang membuka perluasan penerimaan Islam.
Runtuhnya Sriwijaya, memberi kesempatan pada raja-raja Islam untuk memperbaiki kebesaran namanya. Namun, usaha ini tidak diberikan pada raja-raja Pasai, melainkan pada raja Palembang, keturunan kaisar imperium jaya bernama Paramesywara, atau Iskandar Syah yang akhirnya dihancurkan Majapahit pada tengah abad 14.
Pada awal Islam ini, sastra cukup berkembang utamanya yang terkait erat dengan folklor.Penceritaannya cukup beragam, mulai dari penceritaan tentang putra-putri bangsawan, sampai pada majelis-majelis atau konferensi sastra. Terbentuknya sastra awal Islam ini sejalan dengan tahapan awal penerimaan orang Melayu terhadap Islam.
Dari hasil rekonstruksi terlihat bahwa dalam sastra Melayu awal Islam, mungkin telah dimasukkan tulisan-tulisan dalam bahasa Arab, yang disusun di luar Melayu, tentang sendi-sendi Islam, fikih, tata bahasa Arab dan tasawuf. Bahasa Melayu baru dapat menyusup ke wilayah pusat sastra Melayu Islam pada zaman klasik. Dengan demikian struktur sastra awal Islam masyarakat Melayu secara menyeluruh memperlihatkan bahwa sejak diterimanya Islam, karya-karya yang jelas bernafas Hindu dan Budha, antara lain puisi-puisi pujian tidak lagi digunakan. Bahasa Sansekerta berangsur-angsur diganti dengan bahasa dan aksara Arab, dan belum bahasa Melayu. Padahal pada karya-karya dari lingkup nonfungsional yang tidak sekuat karangan lingkup fungsional dipengaruhi Budha dan Hindu dan sudah mulai ditulis dalam bahasa Melayu. Proses pengislamannya dan transisi kepada kaidah-kaidah sastra dan nilai-nilai budaya Islam berjalan perlahan-lahan masih dalam bentuk hidup berdampingan.
Ada dua jenis sastra yang telah menentukan wujud sastra Melayu zaman peralihan awal Islam ini. Pertama, adalah hikayat yang berprototipe dalam sastra Melayu kuno. Kedua, kronis historis yang seperti cerita epik, yang dalam historiografi Melayu disebut sejarah. Cerita jenis ini memiliki dua peran. Pertama, memberi penegasan tentang derajat kebangsawanan dan memberi pengesahannya pada sesuatu dinasti Melayu. Kedua, menceritakan nasib suatu negara atau penguasa yang disusun sedemikian rupa, sehingga arti yang dikandung dalam kejadian-kejadian atau fakta kekuatan gaib yang bertindak tak kasatmata di bawah "permukaan" kajadian itu menjadi tersingkap.
Situasi di atas memiliki tujuan didaktis. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa cerita-cerita kronis berciri historiosofis di samping historiografis. Susunan kronis zaman awal Islam terdiri dari dua bagian, yaitu pertama mitos tentang asal-usul dinasti tertentu, dan kedua tentang zaman sejarah. Bagian ini terdiri dari dua macam unsur. Pertama, unsur-unsur geneologis, yaitu silsilah raja-raja yang berpangkal pada mitos asal-usul tersebut dan menyusunnya dalam urutan cerita yang lengkap. Kedua, unsur-unsur naratif berupa cerita-cerita tentang kejadian penting yang di dalamnya terwujud nasib negara yang bersangkutan. Berikut sekelumit cuplikan kisah tentang asal-usul Puyang Gumai yang diperoleh dari keturunannya yang ke-21, yaitu Bapak Usman Gumanti. Kisahan ini telah disalin ulang dan dirawat bersama-sama benda keramat lainnya jurai tue (keturunan yang tertua) . Cerita ini berjudul diwe Sekemilung.
Diwe Sekemilung adalah anak dari Ratu Kebuyutan yang kawin dengan Ratu Geraha. Ratu Kebuyutan dikenal dengan sebutan Puyang Gumai. Ratu ini memiliki lima saudara: empat perempuan dan satu orang laki-laki, yaitu: 1) Putri Kembang Dadar yang kawin dengan Dewa Sejengkal Alam di Bukit Siguntang Mahameru Palembang, 2) Putri Kembang Sore yang kawin dengan Tuan Raja Nyawa di Gunung Semeru, 3 ) Putri Kembang Tanjung yang kawin dengan Ngawak Mating Siagan, 4) Putri Kembang melati yang kawin dengan Ngawak Sidang Kursi, 5) Ratu Kebuyutan, yang kawin dengan anak Ratu Geraha.
Setelah menikah, Ratu Kebuyutan menetap di dusun Bebarau. Dari hasil perkawinannya dengan Putri Ratu Geraha, lahir tiga orang anak: 1) diwe Sekemilung, 2) Dayang Suri Dendam, 3) Dayang Renik dabung. Dayang Suri Dendam telah menikah dengan orang Niukh Sayak di daerah Ogan, sedangkan diwe Sekemilung dan Dayang Renik dabung, belum menikah.
Dalam kisah ini diungkap keinginan diwe Sekemilung untuk menikahkan adiknya. Namun, adiknya memberi syarat berat, yakni pria yang tidak memiliki pusar. Singkat cerita, akhirnya pemuda tersebut didapat yang ternyata jelmaan dari seekor naga. Dengan beberapa peristiwa yang dialami tokoh cerita ini, diantaranya saat dia diuji untuk mendapatkan seekor burung yang hinggap di pohon tinggi dan lapuk hingga akhirnya dihadiahi oleh Raja Ratu Aji Selabung berupa pernikahan dengan putrinya yakni Putri Remang Aji, kisah ditutup dengan lahirnya sembilan orang putra keturunan diwe Sekemilung, yakni: 1) Puyang Panjang, ada di Kabupaten Muara Enim, 2) Puyang Remanjang Sakti, ada di Lahat, 3) Puyang Indang, ada di Pesisir Bengkulu, 4) Puyang Remindang, ada di Minangkabau, 5) Puyang Untu, ada di Komering Cempaka, 6) Puyang Gemuntu, ada di Lintang Kanan Lahat, 7) Puyang Ului, ada di Musi Balui (Tangga Buntung), 8) Puyang Mesului, ada di Pangkalan Balai, dan 9) Puyang Permate, ada di Merapi Lahat.
Ada beberapa peristiwa yang menarik dalam cerita ini. Misalnya tentang adik ipar diwe Sekemilung yang tinggal di Danau Ranau (karena dia seekor naga?) Dan pesan dari diwe Sekemilung kepada sang naga untuk tidak mengganggu keturunan mereka dengan fitur-fitur yang sebenarnya tidak perlu diungkap, yakni 1) telapak kakinya kuning saat di dalam air, 2) air liurnya mengambang kalau di dalam air, dan 3) kalau menceburkan diri ke air akan mendahulukan perutnya.
Komposisi cerita di atas jelas merupakan gejala setempat. Hal ini dapat dilihat dari nama tempat dan beberapa peninggalan yang ada saat ini. Sesudah menerima Islam, wilayah Melayu Palembang dan sekitarnya mengenal prinsip-prinsip historiografi Islam.
Karya-karya sastra Melayu awal Islam lainnya yang muncul pada paro kedua abad 17 adalah jenis cerita panji, di antaranya adalah Hikayat Andaken Penurat. Cerita ini digubah akhir abad 18 oleh Ahmad Ibnu Abdullah (orang Palembang).
Inti cerita ini menggambarkan kebiasaan dan perilaku manusia yang sungguh-sungguh hidup dari balik norma-norma ketat sopan santun, dan dari balik emosi-emosi yang menurut tradisi dilukiskan secara lahiriah dan konvensional saja. Demikian juga segi-segi kejiwaan para pelaku tersingkap dari balik deskripsi-deskripsi yang menurut pandangan kontemporer-tapi tidak pada pandangan pembaca Melayu tradisional-diada-terlampau melodramatis. Adalah raja negeri Pura Negara yang tidak memandang "berat" perilaku putra kesayangannya, Andaken Penurat. Dengan lembut ia selalu menenteramkan hati permaisuri dan berkata: "sudahlah adatnya laki-laki itu gemar beristri banyak".
Fitur istimewa hikayat ini adalah nadanya semakin bersuasana tragis. Tema kehancuran dua pelaku utama sudah dipastikan sejak awal hikayat, dan hanya dapat dicegah dengan intervensi Batara Kala. Seluruh isi hikayat penuh dengan kata-kata para punggawa istana dan bahkan raja, yang diulang berkali-kali bahwa memandang dengan rasa kagum cantik dan tampannya pasangan kekasih, mereka merasa seakan-akan melihat sepasang putra-putri untuk terakhir kali dan serasa ingin mengucap selamat berpisah buat selama-lamanya.
Dengan psikologisme penceritaannya, hikayat ini memiliki ragam citra dan lambang dari alam sebagai sumber perasaan-perasaan manusiawi yang tidak kunjung kering, sekaligus memberi pesan bahwa apapun peristiwa hidup yang dijalani, termasuk ragam konflik, merupakan bagian dari sifat manusia, sedikit terlepas dari acuan kehidupan sebelumnya .
Dari uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa dalam sistem sastra Melayu, penciptaan karya berawal dari hasil kenaikan rohani pengarangnya melalui proses kreatif. Hadir sebagai alat untuk membentuk atau mentransformasi segenap struktur diri dengan sebaik-baiknya.
Friksi Agama Etnis dalam Realita: Ketakpengaruhan Nilai Harmonisasi Budhisme-Hinduisme
dan Kesufian Islam dalam Cerita Sejarah Melayu Palembang
Beberapa tahun silam, tepatnya saat kejatuhan orba tampak jelas bahwa hubungan antarmasyarakat yang ada di negeri ini tak lebih dari sebuah hubungan "kepentingan". Mungkin ini salah. Tetapi fenomena ini terlihat jelas di kota Palembang, yang dalam uraian terdahulu dinyatakan cukup bersahaja dan penuh kesantunan. Tidak pernah ada singgungan kehidupan, apalagi yang sempat mempertaruhkan masalah agama yang sebenarnya alat penjamin kebersatuan masyarakat.
Palembang adalah kota sejarah sekaligus kota agama tempo dulu. Ini terlihat jelas dari silih bergantinya agama yang masuk dan ini tidak pernah menjadi suatu perdebatan yang serius. Saat ini banyak muncul karya besar yang dalam setiap penceritaannya, membawa makna kedalaman kekayaan batin dan pikiran orang saat itu. Cerita-cerita yang bernuansa agama banyak bermunculan sebagai pertanda bahwa agama adalah alat perdamaian.
Harmonisasi Budhisme-Hinduisme waktu itu dan kesufian Islam, menambah semarak kekayaan estetika dan cara pandang terhadap persoalan hidup, apalagi menyangkut hubungan antarmasyarakat, friksi agama-etnis jauh dari pemikiran. Yang ada hanyalah kebersamaan.Kembali ke pertanyaan awal, apa yang terjadi pada beberapa tahun silam itu?
Masih teringat oleh penulis, Palembang menjadi mencekam. Sebelumnya, dalam keseharian masyarakat berbaur dan berinteraksi dalam banyak hal; dalam jalinan beragam aktivitas. Tapi ternyata hal itu hanya tipuan seperti bom waktu yang siap meledak. Tanpa maksud menyalahkan siapa-siapa penulis melihat bahwa terjadi friksi agama-etnis di kota ini. Orang-orang keturunan etnis Cina yang notabene nonmuslim secara massal memberi label rumah mereka dengan dua pernyataan "pribumi" dan "muslim". Ada apa ini?
Orang-orang pribumi yang notabene kebanyakan muslim dan miskin menjadi beringas karena beragam kecemburuan yang secara taksadar diciptakan oleh sistem di wilayah ini. Kurangnya pembauran dan ekslusifisme perayaan agama, perkawinan suku tertentu yang menutup pintu rapat-rapat bagi agama lain untuk silaturahmi menjadi salah satu pemicu. Pernyatan sederhana yang muncul adalah perlu pembauran (terlepas dari ketidaktahuan saya di wilayah lain).
Tragedi Mei ini, hingga beberapa bulan berikutnya menyisakan kepedihan yang sampai saat ini belum ada solusi. Yang sebenarnya saat ini semakin mencemaskan, kelompok kaya dari etnis tertentu secara massal memagari rumah dan tempat usaha mereka dengan tembok beton dan pagar besi yang tinggi. Ini sebenarnya sebuah pertandingan yang sangat mungkin kejadian serupa akan berulang dan mungkin lebih tidak terkendali. Sadarkah mereka. Sadarkah kita bahwa yang dibutuhkan adalah pembauran dan pemaknaan keadilan yang benar.
Peristiwa ini adalah antiklimaks dari keberhasilan Melayu Palembang dalam cerita-cerita tentang kesufian Islam, dan kemesraan hubungan antar agama-etnis di masa lalu. Dari peristiwa ini, berikut kita lihat kekinian masyarakat Palembang dalam perikehidupan agama dan variasi etnis yang ada.
Berdasarkan agama yang dianut, penduduk Palembang mayoritas beragama Islam (97%), kristen protestan (1,3%), katholik (1,5%), lainnya (0,2%). Agama Islam umumnya dianut oleh sebagian besar etnis Palembang, Jawa, dan Minang. Sedangkan etnis Batak sebagian besar penganut protestan dan katholik. Agama Budha dan Hindu kebanyakan dianut warga etnis Cina. Menurut data lapangan ada banyak warga etnis tertentu memeluk agama Islam yang sangat eksklusif.Mereka umumnya tidak mau bergaul dengan lingkungan yang tidak sealiran dengannya, bahkan seringkali mereka merendahkan agama yang dianut etnis lain. Ini sangat bertolak belakang dari perikehidupan zaman Melayu klasik yang sangat berhati-hati dalam menilai sesuatu. Dan terkadang dapat menempatkan kelompok tertentu dalam fanatisme sempit. Ini terlihat dalam ungkapan sastra Melayu berikut ini.
Tulisan Syihabuddin, yakni Risalah (sekitar tahun 1750) yang termasuk prosa fiksi, mengecam keras para sufi Melayu yang baru memasuki jalan pengenalan tasawuf dan belum sempat mengatasi "syirik internal" yaitu masih mengharapkan sesuatu lagi selain Allah tapi sudah berani menafsirkan rumus tauhid "tiada Tuhan selain Allah "sebagai tidak ada lain selain wujud Allah.Penafsiran ini hanya bisa dibenarkan bagi seorang sufi yang telah tinggi tingkatannya, sedangkan bagi telinga publik terdengar sebagai ungkapan kafir.
Tapi satu hal yang mungkin dapat menjadi bibit ketidakcocokan antarpemeluk agama adalah pandangan sufisme tempo dulu dalam melihat agama / kepercayaan yang dianut oleh kelompok lain. Hal ini terlihat dalam tulisan Abdul as-Samad dalam "Lubab ihya Ulum ad-Din" (inti penyegaran kembali ilmu ketuhanan). Tuhfat ar-Raghibin (karunia bagi yang sangat mendamba), dia melontarkan kecamannya terhadap praktik-praktik animisme yang masih tersebar luas dalam bentuk pemberian sesaji-sesaji kepada arwah setempat.
Terlepas dari konteks kesejarahan yang telah memiliki anggapan tertentu tentang masalah agama-etnis ini, berkembangnya situasi beberapa tahun silam yang telah mengarahkan kita pada satu jawaban bahwa telah terjadi perpecahan agama-etnis, akan menjadi suatu putusan kita sendiri secara sendiri-sendiri untuk menuntun arah perikehidupan bermasyarakat kita. Khusus bagi warga Palembang, kepercayaan publik tentang tingginya nafas keislaman harus menjadi pemersatu dan menjadi jalan keluar bagi persoalan masyarakat yang memang konflik internal terjadi disebabkan oleh masalah ekonomi yang terpicu dari masalah kecemburuan dengan menyoroti faktor agama-etnis.
Pada zaman abad pertengahan, sastra Melayu Palembang (klasik) peranannya sangat luas yang memiliki arti antar etnis bagi bangsa-bangsa yang berbahasa Melayu. Dia tidak saja menjadi bahasa bagi etnis tertentu, tetapi juga sebagai bahasa perdagangan, kebudayaan, dan agama.Untuk itu karya-karya sastra yang diciptakan dengan bahasa itu pun memegang peran sebagai sastra pengantar. Peran antaretnik menjadi sangat menonjol pada akhir abad ke-13, yaitu sejak Islam menyebar di daerah ini, sehingga berangsur-angsur bahasa Melayu berperan besar sebagai pengantar agama Islam.
Pada masa pertengahan ini, agama tertentu memiliki posisi utama, dan peran sebagai sarana strukturalisasi di dalam wadah ideologis. Perubahan penting yang terjadi di bidang keagamaan (misalnya dari Hindu-Budha ke Islam), telah memberi warna tersendiri dalam evolusi sastra. Ada yang menarik dari syair sejarah Palembang dalam kaitannya dengan persoalan agama yang memang sangat kuat melekat pada sebagian masyarakatnya. Syair ini ditulis tahun 1819 (anonim) dengan judul Syair Perang Menteng. Syair ini berkisah tentang perang penduduk Palembang yang mengalahkan pasukan Belanda di bawah pimpinan Menteng (Komisaris Belanda HW Muntinghe) dan pasukan sekutu Melayunya di bawah pimpinan Raja Akil. Menurut syair ini yang menjadi otak perselisihan adalah serangan sekelompok haji di Palembang terhadap seorang opsir Belanda oleh karena selama berzikir sufi mereka telah lupa ingatan dan akhirnya menjadi beringas. Pokok utama cerita ini adalah kisahan perang mati-matian mempertahankan istana Sultan Palembang, Mahmud Badaruddin. Dalam perang ini lasykar Palembang berhasil membuat musuh menderita kerugian besar, sehingga mereka terpaksa lari ke Bangka. Memoar besar yang tersimpan dalam benak orang Palembang adalah ungkapan "Investor habis, Palembang tak kalah" (Drewes, 1977:201).
Dari rentetan kisah baik puisi, syair, cerita sejarah, panji, hikayat, dan sebagainya yang melingkupi "wong Palembang" tempoe doeloe, garis merah yang diungkap cukup tebal dan kentara tentang bagaimana Palembang dalam kaitan dengan keheroikan agama-etnis dan perilaku lainnya yang mungkin berimbang pada situasi kekinian. Ataukah kisahan itu sama sekali tak berarti apa-apa mengingat "sekarang" sudah terbentuk "kesekarangan" yang serba "cepat" dalam segala hal. Bukan oleh sejarah.
Makna sastra "dulu" memberikan kontribusi besar bagi ketradisian sekarang masyarakat Palembang. Hal yang bisa diungkap adalah pada masa Melayu kuno Budhisme-Hinduisme, telah banyak lahir sastra yang berkualitas. Meskipun sebagian karya tersebut ditulis dalam bahasa Sansekerta, namun ia mengandung banyak karya dalam bahasa Melayu. Karya yang lahir berisi puji-pujian terhadap dewa-dewa dan raja-raja yang didewakan, serta tulisan sejarah lainnya.
            Sastra yang lahir pada abad 13 dan 14 mengalami proses pemelayuan yang cepat. Pada masaini terjadi penyerapan genre "kisah petualangan ajaib" dan cerita kepahlawanan ke dalam sistem sastra kuno. Situasi di atas memunculkan saling pengaruh antara dua tradisi, massal, dan elitis yang membentuk kebudayaan campuran yang berorientasi pada bahasa Melayu. Kebudayaan inilah yang menjadi dasar lahirnya sastra Melayu awal Islam.
Sebagai hasil dari saling pengaruh antara unsur sastra yang kuno dengan unsur sastra baru, yaitu yang menerima inspirasi dari seni Arab-Persia, timbullah genre hikayat dan genre sejarah.Sastra Melayu pada zaman awal awal Islam ditandai dengan karakteristik transisi. Pada satu sisi sastra Melayu diperkaya dengan serangkaian karya-karya Islam terjemahan, dan pada sisi yang lain di dalam sastra itu tercipta karya sastra yang beralur cerita epos Sansekerta dan cerita panji. Selanjutnya, pada abad ke-16 sd 18 sebaran Islam secara lebih mendalam menyebabkan keislaman secara mendasar terhadap sastra Melayu.
Akhirnya, dapat disampaikan bahwa selama proses perkembangan sastra Melayu Palembang yang berabad-abad itu terbentuklah suatu "penyeluruhan" sistem sastra yang meliputi alur-alur cerita, motif-motif naratif, tema, tipikal tokoh sastra, dan model-model sastra. Tahapan-tahapan yang telah dilalui dari satu waktu ke waktu lain, telah membentuk citraan tersendiri terhadap sastra Melayu Palembang. Setidaknya fenomena masyarakat dahulu yang terungkap dalam sastra dapat menjadi bahan renungan untuk melihat bagaimana pergolakan batin masyarakat saat ini yang mungkin "sudah berbeda" dalam menghadapi persoalan sosial yang ada. Tentu gejala friksi agama-etnis tidak dapat diabaikan mengingat hal ini dapat mengganggu kelangsungan ketentraman kehidupan bermasyarakat.



0 komentar:

Posting Komentar